Partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 tercatat rendah, dengan banyaknya daerah mengalami tingkat kehadiran di bawah 50 persen. Di Jakarta, hanya 4,3 juta pemilih dari 8,2 juta yang menggunakan hak suaranya, mengindikasikan sekitar 47 persen warga memilih untuk tidak ikut memilih. Meskipun ada perbaikan dibandingkan Pemilu 2024, seperti berkurangnya kesalahan teknis, politik uang tetap menjadi tantangan yang merusak integritas pemilu dan menurunkan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan.
Politik Uang sebagai Penyebab Partisipasi Rendah
Politik uang atau money politics sering dianggap sebagai salah satu penyebab rendahnya partisipasi pemilih. banyak sekali kasus pemilih merasa bahwa suara mereka tidak dihargai kecuali dengan imbalan materi. Fenomena ini memperburuk tingkat partisipasi pemilih yang rendah, karena banyak orang merasa lebih tertarik untuk memilih calon yang memberikan imbalan finansial ketimbang mempertimbangkan kualitas pemimpin.
Menurut Lia Maharani, Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (29/11/2024), politik uang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat merasa bahwa pemilu dan pilkada tidak lebih dari sebuah formalitas. Banyak pemilih yang lebih memilih untuk menerima uang atau barang daripada berpartisipasi dalam pemilu yang dianggapnya tidak membawa perubahan signifikan.
Pengaruh Politik Uang terhadap Pilkada 2024
Politik uang muncul dalam Pilkada 2024 melalui pemberian uang, bingkisan, atau barang kepada pemilih, terutama di daerah dengan partisipasi rendah. Praktik ini tidak hanya terjadi di daerah terpencil, tetapi juga di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Di Surabaya, meski pasangan petahanan diperkirakan menang, partisipasi hanya 55%, menunjukkan pengaruh politik uang terhadap pilihan pemilih yang lebih memilih untuk tidak memberikan suara daripada terlibat dalam pemilihan yang dipengaruhi oleh iming-iming uang.
Dampak Jangka Panjang dari Politik Uang
Praktik politik uang tidak hanya memengaruhi angka partisipasi, tetapi juga merusak kualitas demokrasi. Masyarakat yang terbiasa dengan politik uang cenderung lebih apatis terhadap pemilu dan pilkada, karena mereka merasa bahwa suara mereka tidak akan pernah membawa perubahan yang berarti. Ini menciptakan siklus ketidakpercayaan terhadap institusi politik dan mengurangi akuntabilitas pejabat yang terpilih.
Menurut Lia Maharani, Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (29/11/2024), politik uang akan menciptakan pemilihan yang tidak sehat, di mana calon lebih fokus membeli suara daripada mengedukasi pemilih mengenai visi misi dan program kerja yang akan mereka lakukan lima tahun mendatang. Hal ini menciptakan pemimpin yang terpilih karena kemampuan finansial, bukan kualitas kepemimpinan. Praktik ini merusak kualitas demokrasi, menurunkan akuntabilitas, dan menciptakan apatisme di kalangan pemilih yang merasa suara mereka tidak berdampak pada hasil pemilu.
Solusi untuk Mengatasi Politik Uang dan Meningkatkan Partisipasi
Untuk mengatasi politik uang dalam Pilkada 2024, beberapa langkah yang perlu diambil adalah:
- Peningkatan Pengawasan: Pengawasan lebih ketat terhadap distribusi uang dan barang selama kampanye serta penegakan hukum yang lebih kuat.
- Pendidikan Pemilih: Penyuluhan tentang pentingnya partisipasi berbasis kualitas kepemimpinan dan kebijakan.
- Reformasi Sistem Politik: Membuat kompetisi politik lebih sehat agar pemilih merasa pilihan mereka berdampak nyata.
Langkah-Langkah ini sangatlah penting untuk menjaga kualitas demokrasi dan memastikan pemilihan pemimpin berdasarkan kemampuan dan visi, melainkan bukan politik uang.
Comments