
Kamis, (10/10), Instagram @ahquote kembali ramai dengan postingan yang mengangkat topik Gen Z, yang menunjukkan bahwa banyak dari mereka memiliki akun kedua atau second account. Menurut para psikolog, fenomena ini sering kali dikaitkan dengan gejala depresi. Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, mengandalkan akun kedua ini untuk mengekspresikan diri secara lebih bebas, sering kali untuk berbagi konten yang lebih pribadi atau menciptakan ruang aman di tengah tekanan sosial yang ada
Namun, meskipun second account memberikan tempat untuk berbagi perasaan, hal ini juga mencerminkan tantangan kesehatan mental yang dihadapi Gen Z. Penelitian menunjukkan bahwa interaksi di media sosial dapat memperburuk gejala depresi, karena perbandingan sosial yang negatif tetap ada, bahkan dalam ruang yang lebih privat. Dengan semakin banyaknya Gen Z yang menggunakan akun kedua, ada kebutuhan mendesak untuk memahami dampak psikologis dari perilaku ini dan mencari solusi untuk mendukung kesehatan mental mereka di era digital yang terus berkembang.
Menurut Dian R. Sawitri, Guru Besar Psikologi Universitas Diponegoro, media sosial menciptakan ilusi kehidupan yang sempurna, di mana pengguna cenderung hanya menampilkan sisi positif mereka. Hal ini dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan ketidakpuasan ketika realitas kehidupan tidak memenuhi ekspektasi tersebut. World Health Organization (WHO) mencatat bahwa depresi terjadi pada 1,4% remaja berusia 10–14 tahun dan 3,5% pada remaja berusia 15–19 tahun. Selain itu, perbandingan sosial di dunia maya dapat merusak rasa percaya diri dan memicu ketergantungan, terutama di kalangan Gen Z yang sering menunjukkan kepribadian ganda melalui akun tambahan.
Teori Dramaturgi dan dampaknya terhadap depresi Gen Z
Dari perspektif komunikasi, fenomena ini dapat dijelaskan melalui Teori Dramaturgi oleh oleh Erving Goffman. Dalam teori ini, interaksi sosial dianggap sebagai pertunjukan di mana individu memainkan peran berbeda di ruang publik dan ruang pribadi. Pada akun utama, individu mungkin menampilkan citra yang sudah dikurasi dan sempurna sebagai “front stage”, sementara akun kedua berfungsi sebagai “back stage,” memberikan kebebasan untuk mengekspresikan sisi emosional yang lebih rentan dan jujur, sering kali mencerminkan kekecewaan dan ketidakpuasan dalam hidup.
Meskipun akun kedua memungkinkan kejujuran emosional, hal ini dapat menimbulkan tantangan baru. Ketergantungan pada media sosial untuk mengekspresikan diri sering memperburuk perbandingan sosial, sehingga individu merasa kurang berharga bahkan di ruang privat, yang dapat memperparah kecemasan dan depresi. Selain itu, penggunaan akun kedua mencerminkan identitas ganda, di mana pengguna terjebak antara citra publik dan perasaan pribadi. Ketidakcocokan antara kedua identitas ini dapat menyebabkan kebingungan dan stres, yang berdampak negatif pada kesehatan mental dan kehidupan sehari-hari.
Nah, Sobat Minsik fenomena ini memerlukan pendekatan yang mendalam. Di satu sisi, platform media sosial perlu lebih proaktif dalam memberikan edukasi dan menyediakan fitur yang mendukung kesehatan mental, seperti pengingat untuk mengurangi penggunaan. Di sisi lain, penting juga bagi pengguna untuk meningkatkan kesadaran diri mengenai bagaimana dan mengapa mereka menggunakan media sosial, terutama second account. Tren second account menunjukkan bahwa ekspresi diri yang lebih jujur dan pribadi tidak selalu berujung pada pelepasan stres. Justru, tanpa kontrol dan manajemen diri yang baik, fenomena ini dapat menjerumuskan individu pada siklus depresi yang lebih dalam.
Penulis: Maya Maulidia
Editor: Diah Ayu
Comments