Uncategorized

Fenomena “Komunikasi Rasa”: Ketika Media Sosial Mengajarkan Hal yang Tidak Ditulis di Buku Teks

Teori komunikasi sering mengajarkan kita rumus-rumus: siapa mengatakan apa, kepada siapa, melalui saluran apa. Tapi di luar kelas, terutama di media sosial, komunikasi justru terasa lebih rumit dan lebih personal.

Ada pola baru yang semakin kelihatan: anak muda tidak lagi hanya mencari informasi, tapi mencari tempat untuk merasa dimengerti.

Konten-konten yang sering muncul di linimasa bukan hanya berita atau edukasi, tapi kalimat pendek yang seolah membaca isi kepala kita. Tanpa sadar, itu semua membentuk fenomena baru: komunikasi yang digerakkan oleh rasa.

Hal-Hal Kecil yang Sebenarnya Besar

Kalau diperhatikan, konten yang paling sering viral justru yang bicara tentang hal sangat sederhana: perasaan tidak dianggap, miskomunikasi sepele, kehilangan semangat tanpa alasan, atau diam mencurigakan dari seseorang yang biasanya cerewet.

Di konteks teori, mungkin ini masuk kategori “komunikasi interpersonal”. Tapi di dunia nyata, ini adalah pengalaman hidup yang bikin kita berhenti sebentar dan mikir,“Ini kok gue banget?”

Fenomena ini menunjukkan bahwa komunikasi bukan hanya soal menyampaikan pesan, tapi memahami ruang kosong di antara pesan itu.

Media Sosial Jadi Ruang Untuk Memproses Emosi

Jika dulu media sosial banyak dipakai untuk menunjukkan hal-hal yang “ingin dilihat orang”, sekarang banyak anak muda memakainya untuk: mengolah perasaan, mencari validasi, menenangkan diri, atau sekadar memastikan bahwa mereka tidak sendirian.

Komunikasi digital berubah menjadi tempat terapi kolektif tanpa disadari. Kalimat-kalimat pendek bernada reflektif itu bukan cuma estetika, tapi cermin pengalaman sehari-hari.

Fenomena ini penting untuk mahasiswa KPI: cara orang berkomunikasi hari ini tidak lagi linier, tapi emosional.

Kenapa Konten Reflektif Cepat Terbang Views?

Ada tiga alasan utama:

  • Tingkat Relate Tinggi: Audiens merasa konten itu menggambarkan hidup mereka sendiri. Dalam komunikasi, ini disebut identification.
  • Mudah di-share, mudah di save: Kontennya sering berbentuk kalimat pendek, visual sederhana, dan punya “punchline” yang bikin orang ingin menyimpan atau membagikan ke teman.
  • Memberi ruang perasaan yang tidak sempat diungkapkan: Anak muda sekarang punya banyak tekanan tapi sedikit ruang aman. Konten reflektif menyediakan bahasa untuk perasaan yang sulit dijelaskan.

Ketika sebuah konten membantu seseorang memahami dirinya,maka konten itu otomatis punya potensi viral.

Fenomena “komunikasi rasa” ini menunjukkan bahwa komunikasi bukan sekadar studi,tapi cara manusia memahami dirinya sendiri.Dan mungkin, di tengah tugas kuliah dan teori-teori tebal itu,kita sedang mempelajari hal paling dasar dari komunikasi:menjadi manusia yang mau mendengar dan dimengerti.

By Naila Karina Ramadani

Ketika Netflix Membalap Lebih Cepat: Revolusi Komunikasi Formula 1 di Era Drive to Survive

Previous article

Comments

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *