Beberapa tahun terakhir, nama Perunggu mulai akrab di telinga para penikmat musik alternatif Indonesia. Trio asal Jakarta yang beranggotakan Maul Ibrahim, Adam Adenan, dan Ildo Hasman ini muncul sebagai salah satu representasi baru dari musisi urban yang tumbuh di tengah rutinitas kantor, namun tetap menjaga bara kreatif di dalam diri mereka. Mereka sering disebut sebagai “band pulang kantor” — istilah yang menggambarkan semangat berkarya di sela kesibukan, tanpa meninggalkan idealisme bermusik.
Album debut mereka, Memorandum (2022), berhasil meninggalkan jejak kuat lewat lirik-lirik reflektif dan aransemen yang megah. Lagu-lagu seperti “33x”, “Kalibata, 2012”, dan “Ini Abadi” menampilkan kejujuran emosional yang jarang ditemukan di musik populer hari ini. Di balik distorsi gitar dan dentuman drum yang tegas, Perunggu berbicara tentang kehilangan, pengorbanan, dan cinta dengan bahasa yang sederhana tapi berlapis makna.
Bagi sebagian pendengar, mendengarkan Perunggu seperti membaca potongan hidup sendiri: perjalanan pulang malam setelah lembur, rindu yang tak sempat disampaikan, atau dialog sunyi dengan diri sendiri di tengah hiruk-pikuk kota. Musik mereka tidak memanjakan pendengar dengan nada-nada instan, melainkan mengajak untuk berhenti sejenak, merenung, dan merasa.
Namun, keberadaan Perunggu juga menandai fenomena yang lebih besar dalam industri musik Indonesia. Di tengah arus lagu viral berdurasi 30 detik dan tren digital yang cepat berganti, Perunggu justru tampil dengan komposisi panjang dan narasi kuat. Mereka tidak mengejar algoritma, melainkan mengandalkan keotentikan. Hal inilah yang membuat mereka terasa relevan di tengah generasi muda yang mulai jenuh dengan pola hiburan instan.
Meski begitu, tantangan tetap ada. Bagaimana menjaga karakter musik yang konsisten tanpa kehilangan daya tarik bagi pendengar baru? Bagaimana terus berkarya tanpa harus terjebak di label “band alternatif niche”? Namun satu hal yang pasti, Perunggu sudah membuktikan bahwa musik yang lahir dari kejujuran selalu menemukan jalannya sendiri untuk sampai ke hati orang.
Pada akhirnya, Perunggu bukan sekadar band. Mereka adalah cermin dari semangat banyak orang yang masih berjuang menyeimbangkan mimpi dan realitas. Dalam dunia yang menuntut serba cepat, Perunggu hadir sebagai pengingat bahwa kadang, butuh waktu untuk benar-benar merasa — dan mungkin, di situlah musik terbaik lahir.
Comments