Uncategorized

Fenomena Coffee Shop 24 Jam di Jakarta: Gaya Hidup, Kebutuhan, atau Sekadar Tren?

Beberapa tahun terakhir, kafe 24 jam semakin mudah ditemui di berbagai sudut Jakarta. Dari kawasan Senopati sampai Rawamangun, coffee shop kini tidak hanya jadi tempat ngopi, tapi juga ruang bernafas bagi banyak anak muda kota. Suasana yang cozy, wifi kencang, dan playlist lo-fi yang menemani malam panjang, menjadikan tempat-tempat ini seperti “ruang kedua” setelah rumah. Banyak orang datang bukan semata karena ingin minum kopi, tapi karena ingin merasa produktif, terhubung, atau sekadar tidak sendirian.

Namun, fenomena ini mulai menimbulkan dua sisi pandang. Bagi sebagian orang, nongkrong di kafe sampai dini hari adalah bagian dari gaya hidup modern — simbol fleksibilitas dan kebebasan bekerja di mana saja. Tapi bagi yang lain, tren ini justru mencerminkan tekanan sosial dan budaya hustle yang semakin kuat di kalangan muda. Mereka merasa “harus” selalu sibuk, selalu produktif, bahkan ketika seharusnya istirahat.

Di sisi lain, kehadiran kafe 24 jam sebenarnya juga menjawab kebutuhan nyata: tidak semua orang bekerja di jam kantor. Ada freelancer, mahasiswa dengan deadline, atau pekerja shift malam yang butuh tempat nyaman untuk fokus. Dengan harga kopi di kisaran Rp25.000–Rp40.000, tempat ini terasa lebih aman dan tenang dibanding ruang publik lain di malam hari. Namun, jika dikalkulasi setiap malam, gaya hidup ini bisa jadi pengeluaran yang lumayan besar, apalagi bagi mereka yang menjadikannya rutinitas.

Meski begitu, banyak yang berharap fenomena ini tetap dipertahankan — asal seimbang. Pemilik coffee shop diharapkan tidak hanya berorientasi pada tren, tetapi juga menghadirkan ruang yang inklusif dan mendukung kesehatan mental. Misalnya, menyediakan area bebas rokok, pilihan minuman non-kopi, atau kegiatan komunitas seperti diskusi dan mini showcase musik.

Pada akhirnya, coffee shop 24 jam bukan sekadar soal kopi atau tempat nongkrong. Ini tentang bagaimana masyarakat urban mencari ruang untuk hidup, bekerja, dan beristirahat di tengah ritme kota yang nyaris tanpa jeda. Selama ruang itu memberi manfaat nyata dan tidak membuat lelah secara sosial maupun finansial, tren ini bukan hanya gaya hidup — tapi bagian dari cara baru untuk bertahan di Jakarta.

By Firman Faturahman

Tren Lipstik Long Lasting dan Bahaya di Baliknya

Previous article

Perunggu: Suara “Pulang Kantor” yang Menggema di Tengah Riuh Musik Alternatif Indonesia.

Next article

Comments

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *