Keluarga seharusnya menjadi tempat paling nyaman untuk kita pulang. Namun, film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis, membuktikan bahwa kenyataan bisa jauh lebih rumit. Film ini mengajak kita untuk merenungkan tentang bagaimana konflik internal, terutama yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan ekspektasi orang tua, bisa merobek-robek hangatnya kasih sayang di dalam rumah. Melalui kisahnya, film ini memberikan gambaran yang mendalam tentang dampak psikologis dari trauma keluarga, sekaligus mengajak kita untuk memahami pentingnya komunikasi yang baik dalam konteks pengasuhan.
Sejak awal, kita sudah disuguhkan dengan gambaran betapa menawannya kehidupan seorang anak yang harus berjuang melawan tekanan dari harapan yang diletakkan di pundaknya oleh orang tua, khususnya sosok ayah yang menerapkan gaya otoriter. Gaya komunikasi seperti ini bukan hanya membuat anak merasa tertekan, tetapi juga menciptakan jurang pemisah antara orang tua dan anak. Di sinilah kita dapat mengaitkan pelajaran penting tentang pola asuh yang efektif. Teori Baumrind membedakan tiga gaya pola asuh: otoriter, permisif, dan otoritatif. Di antara ketiga gaya ini, yang paling berhasil dalam mendukung perkembangan mental anak adalah gaya otoritatif—gaya yang seimbang antara tuntutan dan empati.
Di dalam film, karakter ayah yang kaku dan tidak fleksibel menjadi cerminan dari gaya otoriter yang sering kali memicu trauma yang mendalam pada anak. Kita diajak untuk menyadari bahwa KDRT bukan hanya tentang tindakan fisik, tetapi juga bagaimana kata-kata dan ekspektasi yang keliru bisa melukai jiwa seseorang. Ekspektasi yang diletakkan untuk mencapai kesuksesan dalam karier justru menjadi beban mental tersendiri bagi anak, menciptakan ketidakpuasan yang berkepanjangan. Di sini, relevansi Teori Kebutuhan Maslow sangat terlihat, di mana anak tidak hanya butuh pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi juga rasa aman dan penghargaan yang bisa membantu mereka tumbuh dan berkembang dengan baik.
Komunikasi terbuka antara orang tua dan anak adalah pokok bahasan yang sangat penting dalam film ini. Jika orang tua mampu membangun komunikasi yang jujur dan terbuka, anak akan merasa didengar dan dipahami. Bayangkan jika anak merasa bebas untuk mengungkapkan perasaan mereka tanpa takut dihakimi; ini tentu bisa mengurangi beban psikologis yang mereka rasakan. Dalam konteks ini, dukungan emosional dari orang tua menjadi kunci utama. Ketika anak merasa bahwa mereka selalu didukung dan dicintai, mereka akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang kuat.
Lebih dari sekadar memberi dukungan, orang tua juga perlu mempertimbangkan ekspektasi yang mereka tetapkan untuk anak. Menetapkan standar yang realistis sangat penting agar anak tidak merasa tertekan. Alih-alih membebani anak dengan harapan yang terlalu tinggi, orang tua sebaiknya menciptakan lingkungan yang memungkinkan anak untuk belajar dari kegagalan mereka. Saat anak menghadapi kesulitan, alih-alih mengkritik, dukungan dari orang tua akan sangat membantu mereka untuk bangkit dan mencoba lagi. Di sinilah kita bisa melihat pentingnya komunikasi yang efektif: memberi masukan yang membangun dan membantu anak untuk melihat kesalahan sebagai bagian dari proses belajar.
Selain aspek komunikasi, perilaku orang tua juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Mereka cenderung meniru apa yang mereka lihat di rumah. Jadi, jika orang tua menunjukkan perilaku positif, anak akan belajar untuk melakukan hal yang sama. Ini menegaskan pentingnya menjadi teladan dalam tindakan sehari-hari. Dalam film, kita melihat bagaimana perilaku orang tua bisa membentuk cara pandang anak terhadap dunia di sekitar mereka
Saat kita membahas konflik dalam keluarga, pendekatan empatik adalah kunci untuk menciptakan suasana yang lebih harmonis. Dengan menyadari dan memahami perasaan anggota keluarga lainnya, kita bisa menciptakan ikatan yang lebih kuat. Namun, jika masalah terasa terlalu berat untuk diatasi sendiri, mencari bantuan profesional seperti konselor keluarga bisa menjadi langkah yang bijak. Terkadang, memiliki pandangan luar bisa membuka perspektif baru dan membantu keluarga menemukan jalan keluar dari masalah yang ada.
Dengan segala isu yang diangkat, film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis lebih dari sekadar tontonan; ia adalah sebuah cermin bagi kita semua. Film ini mengajak kita untuk belajar tentang bagaimana kita bisa menjadi orang tua yang lebih baik dan lebih peka terhadap kebutuhan emosional anak. Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan komunikasi yang terbuka akan membantu kita mendidik anak-anak yang tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga sehat secara emosional. Jadi, mari kita ambil pelajaran berharga dari film ini, dan bangunlah keluarga yang penuh kasih sayang, dukungan, dan pengertian!
Penulis : Kintan Nailaya
Editor : Arif Rahmatulhakim
Comments