Dalam kehidupan, banyak individu yang mengalami trauma atau situasi keluarga yang sulit, seperti lingkungan yang toxic, emotional abuse, atau dinamika yang merusak. Tokoh-tokoh besar dalam sejarah keagamaan seperti Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, dan Nabi Musa juga menghadapi tantangan serupa dalam keluarga mereka. Namun, mereka berhasil mengatasi rintangan tersebut dan bangkit menjadi pemimpin yang penuh hikmah dan kekuatan. Dalam kajian psikologi, pengalaman mereka dapat kita pahami melalui konsep-konsep seperti resiliensi, self-efficacy, post-traumatic growth, dan emotional regulation.
Nabi Ibrahim: Mengatasi Tekanan Keluarga yang Toxic dengan Keteguhan Spiritual dan Kemandirian.
Nabi Ibrahim AS menghadapi keluarga yang toxic, terutama dalam hubungannya dengan ayahnya, Azar, yang seorang pembuat berhala. Ayahnya menolak ajaran tauhid dan bahkan bersikap agresif terhadap upaya Ibrahim untuk membimbingnya ke jalan yang benar. Dari perspektif psikologis, Nabi Ibrahim menghadapi bentuk emotional abuse dan toxic family environment, di mana ia mengalami penolakan, kemarahan, dan ancaman dari orang tuanya.
Namun, Nabi Ibrahim menunjukkan resiliensi, yaitu kemampuan individu untuk bangkit dan beradaptasi secara positif meskipun dihadapkan pada situasi sulit. Dalam psikologi, resiliensi adalah mekanisme penting yang membantu seseorang mengatasi tekanan. Nabi Ibrahim juga menunjukkan self-efficacy, yaitu keyakinan dalam dirinya sendiri bahwa ia mampu mengatasi tantangan yang dihadapinya. Kepercayaan diri yang kuat ini membantunya untuk tetap teguh meskipun ditolak oleh keluarganya dan masyarakat.
Nabi Ibrahim juga menggunakan autonomy, yaitu kemampuan untuk bertindak mandiri tanpa terpengaruh oleh lingkungan yang merusak. Ia memilih untuk meninggalkan lingkungan toxic tersebut, menunjukkan bahwa mengatasi situasi sulit sering kali memerlukan keputusan berani untuk keluar dari lingkaran pengaruh yang negatif.
Nabi Yusuf: Mengatasi Trauma Pengkhianatan dengan Pengampunan dan Kebijaksanaan.
Nabi Yusuf AS adalah contoh kuat bagaimana seseorang dapat menghadapi trauma yang berasal dari pengkhianatan keluarga. Saudara-saudaranya, yang merasa iri dengan perhatian lebih dari ayah mereka, berkonspirasi untuk membuangnya dan berpura-pura bahwa Yusuf telah mati. Peristiwa ini menimbulkan trauma besar bagi Yusuf karena ia tidak hanya dikhianati oleh orang yang seharusnya menyayangi dan melindunginya, tetapi juga dijual sebagai budak, mengalami isolasi, dan kehilangan keluarganya.
Dari sudut pandang psikologis, Yusuf mengalami betrayal trauma, yaitu jenis trauma yang terjadi ketika individu dikhianati oleh orang-orang terdekat yang dipercayainya. Ini sering kali berdampak pada attachment theory, di mana hubungan kepercayaan dengan orang lain bisa terganggu, membuat seseorang sulit membangun hubungan yang sehat di masa depan. Namun, Nabi Yusuf menunjukkan kemampuan post-traumatic growth, yakni kemampuan untuk
berkembang menjadi lebih kuat dan lebih bijaksana setelah melalui trauma. Nabi Yusuf akhirnya menjadi pribadi yang lebih dewasa, tidak hanya secara spiritual tetapi juga secara emosional. Ia memilih untuk memaafkan saudara-saudaranya, yang dalam psikologi dikenal dengan konsep forgiveness therapy, di mana pengampunan tidak hanya membebaskan orang lain, tetapi juga menyembuhkan diri sendiri dari luka emosional. Pengampunan ini juga didukung oleh emotional regulation, yaitu kemampuan untuk mengelola dan mengendalikan emosi yang muncul sebagai respons terhadap situasi sulit. Nabi Yusuf mampu menahan dendam dan amarahnya, menunjukkan tingkat pengendalian diri yang tinggi.
Nabi Musa: Menghadapi Tekanan dan Abuse dengan Keberanian dan Kepemimpinan yang Efektif.
Nabi Musa AS menghadapi tantangan dari dua sisi. Pertama, ia tumbuh besar di istana Firaun, penguasa yang lalim, dan kedua, ia harus menghadapi penolakan dari kaumnya ketika dia diutus sebagai nabi. Musa juga menyaksikan penindasan yang luar biasa terhadap kaumnya oleh Firaun, yang merupakan contoh bentuk emotional abuse dan trauma kolektif.
Dari sudut pandang psikologis, pengalaman Nabi Musa dapat dipahami melalui konsep trauma yang diakibatkan oleh ketidakadilan dan penindasan yang dialami oleh bangsanya. Nabi Musa harus menghadapi trauma ini dan menyalurkannya ke dalam tindakan proaktif untuk membebaskan Bani Israil. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai transformational leadership, di mana pemimpin menggunakan pengalaman negatif mereka untuk mendorong perubahan positif bagi orang lain. Nabi Musa menunjukkan assertiveness, yaitu kemampuan untuk bersikap tegas dalam menghadapi situasi yang tidak adil tanpa harus tunduk pada ketakutan atau ancaman. Keberanian Nabi Musa untuk menghadapi Firaun dan membebaskan kaumnya juga mencerminkan coping mechanism yang efektif, di mana ia mampu mengatasi trauma dengan tindakan yang berarti dan berani.
Ketiga nabi ini—Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, dan Nabi Musa—semuanya menghadapi tantangan luar biasa dalam bentuk toxic family dynamics, emotional abuse, dan trauma. Namun, yang membedakan mereka adalah kemampuan mereka untuk bangkit dari kesulitan ini dengan menggunakan keterampilan seperti resiliensi, post-traumatic growth, self-efficacy, dan emotional regulation.
Dalam psikologi, orang yang mampu bangkit dari trauma atau lingkungan beracun dan mencapai kesuksesan sering kali disebut sebagai individu dengan high performance atau thrivers, bukan sekadar survivors. Mereka tidak hanya mampu bertahan dalam kondisi sulit, tetapi juga berkembang dan menjadi lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih efektif dalam kehidupan mereka.
Mereka menunjukkan bahwa meskipun seseorang mengalami trauma atau datang dari keluarga yang toxic, ada jalan untuk bangkit dan menjadi manusia yang lebih baik. Melalui self awareness (kesadaran diri), emotional intelligence (kecerdasan emosional), dan proactive coping (strategi penanggulangan yang proaktif), kita bisa melampaui luka-luka emosional yang kita alami dan mencapai potensi kita yang sebenarnya.
Perjalanan mereka adalah contoh nyata dari post-traumatic growth, emotional regulation, dan kepemimpinan transformatif, yang semuanya membantu mereka mencapai sukses yang luar biasa dan membawa dampak positif bagi orang lain.
Sumber : Sebuah Kajian Psikologis; Sholichah, I. F., Paulana, A. N., & Fitriya, P. (2019, July). Self-esteem dan resiliensi akademik mahasiswa. In Proceeding National Conference Psikologi UMG 2018 (Vol. 1, No. 1, pp.191-197).
Penulis : Banin Sabrina
Editor : Arif Rahmatulhakim
Comments