Di tengah gencarnya kampanye global untuk menekan polusi plastik, fakta di lapangan justru menunjukkan arah sebaliknya. Menurut laporan The Guardian, ekspor sampah plastik asal Inggris ke negara-negara berkembang melonjak sebesar 84% hanya dalam waktu satu tahun, dengan Indonesia menjadi salah satu tujuan utama. Jika pada 2024 Inggris mengekspor sekitar 13 ribu limbah plastik, kini angkanya mencapai lebih dari 24 ribu ton ke Indonesia dan Vietnam. Kenaikan ini terjadi tidak lama setelah beberapa negara Eropa Timur dan Turki menolak kiriman limbah plastik asal Inggris tersebut, menyebabkan Asia Tenggara kembali menjadi “pintu belakang” pengelolaan sampah global.
Meski pemerintah Indonesia telah menyatakan pelarangan total impor sampah plastik sejak awal 2025, praktik di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya. Hasil investigasi The Diplomat pada Maret 2025 membuktikan bahwa limbah plastik asing masih menyusup masuk ke Indonesia melalui kontainer berlabel ekspor kertas bekas, yang di dalamnya terselip campuran plastik dan sampah rumah tangga. Di kawasan sekitar pabrik daur ulang, warga menjadi saksi sekaligus korban. Mereka diharuskan berhadapan dengan tumpukan plastik campuran impor yang dibakar atau disortir dengan tangan kosong tanpa alat pelindung.
Lonjakan impor sampah plastik menjadikan Indonesia bagaikan “tempat pembuangan global” bagi limbah negara maju. Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), total produksi sampah Indonesia pada 2024 mencapai 46,63 juta ton dan sekitar 10,8 juta ton diantaranya plastik. Ironisnya, hanya sekitar 39% yang terkelola dengan baik, sisanya menumpuk di TPA terbuka, dibakar secara ilegal, atau bahkan hanyut ke sungai dan laut. Buruknya sistem pengolahan limbah kian memperparah situasi warga di sekitar kawasan industri yang harus menanggung risiko kesehatan kronis dan lingkungan hidup yang semakin tak layak huni.
Menurut analisis dari Plastic Waste Trade Watch milik Basel Action Network, terdapat beberapa celah penting dalam rantai ekspor plastik. Pertama, definisi “limbah yang bisa didaur ulang” masih sangat longgar, sehingga plastik kotor pun lolos dengan label recyclable (dapat didaur ulang). Kedua, standar deklarasi antarnegara tidak seragam, membuat isi kontainer kerap luput dari inspeksi di pelabuhan. Ketiga, industri lokal sendiri ikut memperburuk keadaan karena lebih tergiur plastik impor murah ketimbang mengumpulkan limbah domestik. Namun ironisnya, meski sejak 2023 pemerintah telah menerapkan skema Extended Producer Responsibility (EPR) yang mewajibkan produsen menanggung daur ulang kemasannya sendiri, justru masih banyak perusahaan besar belum transparan soal volume limbah yang mereka kelola.
Sebenarnya, langkah penyelamatan lingkungan sudah jelas di depan mata; tegakkan hukum di pelabuhan tanpa kompromi, lakukan audit rutin pada pabrik-pabrik daur ulang, dan perkuat pengawasan kontainer ekspor-impor. Pemerintah harus menutup celah hukum dengan menegaskan definisi “limbah non-berbahaya” agar tidak lagi menjadi “pintu belakang” bagi negara pengekspor. Namun dalam jangka panjang, ketahanan industri daur ulang nasional tetap menjadi kuncinya. Indonesia harus mampu mengelola sampahnya sendiri tanpa tergiur limbah murah dari luar. Sebab pada akhirnya, persoalan ini tentang keberanian suatu bangsa dalam menegakkan tanggung jawab di tengah rantai global yang masih abu-abu.
Comments