Australia, dengan keindahan alam dan kekayaan sumber daya, memiliki sejarah kelam yang sering terabaikan—terutama mengenai nasib penduduk asli, orang Aborigin. Kebangkitan kolonialisme Eropa di benua ini membawa perubahan drastis bagi komunitas yang telah ada selama ribuan tahun.
Yuk cari tahu! bagaimana penduduk asli Australia mengalami pergeseran demografis yang besar akibat kedatangan para pendatang!
Di abad ke-16, kontak pertama antara Eropa dan Australia mulai terjadi. Orang Portugis dan Spanyol diketahui menjelajahi wilayah ini, meski mereka tidak pernah menginjakkan kaki di daratan utama. Sebaliknya, pada awal abad ke-17, Belanda menjadi yang pertama yang menjelajahi Australia, menamakan wilayah tersebut “New Holland.” Namun, tidak ada pemukiman permanen yang dibangun hingga Inggris mulai mengirim ekspedisi ke Australia pada pertengahan abad ke-18.
Dengan penemuan tambang emas di tahun 1850-an, Australia menarik banyak pendatang dari Eropa, termasuk Inggris. Diperkirakan, dua persen dari total penduduk Inggris saat itu beremigrasi ke Australia untuk mencari kekayaan. Dalam konteks ini, Australia berkembang menjadi tujuan utama imigrasi Eropa, dan populasi kulit putih mendominasi benua tersebut.
Sayangnya, kedatangan para penjajah Eropa membawa dampak yang sangat buruk bagi orang Aborigin. Penduduk asli yang hidup dari berburu dan meramu merasa terancam ketika ternak yang mereka anggap liar dicuri oleh para pendatang. Akibatnya, sering kali terjadi konflik yang berujung pada kekerasan. Data menunjukkan bahwa antara akhir abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20, terdapat lebih dari 400 kasus pembantaian orang Aborigin oleh koloni Eropa.
Salah satu kasus yang paling mencolok adalah peristiwa pembantaian sekelompok orang Aborigin saat mereka sedang melakukan ritual keagamaan di tahun 1900. Mereka disergap dan ditembak oleh penjajah Eropa. Kasus-kasus kejam lainnya termasuk penangkapan penduduk asli yang kemudian dibakar hidup-hidup oleh aparat. Praktik-praktik kejam ini mencerminkan upaya sistematis untuk menguasai dan mengusir penduduk asli dari tanah mereka.
Pada tahun 1901, pemerintah Australia memberlakukan kebijakan imigrasi ketat yang dikenal sebagai “White Australia Policy,” yang bertujuan untuk menghalangi masuknya imigran non-Eropa. Kebijakan ini semakin memperkuat dominasi orang kulit putih di Australia dan melanggengkan diskriminasi terhadap orang Aborigin dan imigran lainnya.
Meskipun di tahun 1970-an, kebijakan diskriminatif tersebut dihapus, populasi orang Aborigin masih jauh dari angka sebelum kedatangan Eropa. Dari perkiraan awal satu hingga satu setengah juta orang Aborigin sebelum penjajahan, kini hanya tersisa sekitar seratus ribu jiwa.
Kisah ini bukan hanya sejarah kelam, tetapi juga pengingat akan perlunya rekonsiliasi dan pemahaman. Australia kini berusaha untuk lebih menghargai warisan dan keberadaan orang Aborigin, namun banyak dari mereka masih hidup dalam bayang-bayang sejarah yang kelam. Masyarakat Australia modern harus belajar dari masa lalu untuk menciptakan masa depan yang lebih baik dan inklusif.
Penulis: Fadhly Fadhlullah El-Masyri
Editor: Diah Ayu
Comments