Semester 7

MEMPERTAHANKAN KEBEBASAN DAN INTEGRITAS INFORMASI, PERAN SIAPA?

Dalam era informasi yang semakin maju dan canggih, media massa memiliki peran yang sangat penting dalam menyediakan informasi kepada masyarakat. Masyarakat bergantung pada media massa untuk memperoleh berita, analisis, dan pemahaman tentang peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Namun, dengan kemajuan teknologi dan perkembangan platform media baru seperti media sosial, masyarakat juga dihadapkan pada tantangan baru dalam membedakan antara informasi yang akurat dan yang tidak.

Salah satu peran utama lembaga otoritas media massa adalah memastikan bahwa informasi yang disampaikan kepada publik adalah akurat, terpercaya, dan berimbang. Lembaga otoritas media massa bertanggung jawab untuk mengumpulkan, memverifikasi, dan menyajikan berita dan informasi secara obyektif. Mereka memiliki peran penting dalam menjaga kebebasan dan integritas informasi, serta mencegah penyebaran berita palsu, disinformasi, dan propaganda.

Namun, di era digital dan sosial media, arus informasi menjadi sangat luas dan cepat. Setiap individu memiliki kemampuan untuk menciptakan dan menyebarkan konten secara luas, tanpa ada mekanisme pengawasan atau pemverifikasian yang jelas. Hal ini memberikan tantangan baru bagi lembaga otoritas media massa dalam mempertahankan kepercayaan publik. Tingginya penyebaran berita palsu, rumor, dan konten manipulatif di media sosial telah mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap media tradisional.

Lembaga otoritas media massa merupakan penjaga kebenaran dan pengawas kekuasaan. Mereka bertanggung jawab untuk menyediakan informasi yang objektif, akurat, dan berimbang kepada masyarakat. Konsep ini didasarkan pada prinsip-prinsip jurnalisme yang meliputi keadilan, kebenaran, dan kepentingan publik. Dalam pembahasan ini, akan dianalisis bagaimana lembaga otoritas media massa berperan dalam memfilter informasi yang masuk ke publik, memerangi disinformasi dan propaganda, serta menjaga independensi mereka dari tekanan politik dan komersial.

Dalam bagian ini, akan disajikan data dan analisis yang mendukung peran lembaga otoritas media massa dalam mempertahankan kebebasan dan integritas informasi. Data-data tersebut mencakup survei tentang kepercayaan masyarakat terhadap media massa, kasus pelanggaran etika jurnalistik, dan tantangan yang dihadapi oleh media massa dalam menjaga integritas mereka. Analisis akan melibatkan pemahaman tentang bagaimana lembaga otoritas media massa dapat berkontribusi dalam membangun masyarakat yang sadar informasi melalui pemberitaan yang kritis, transparansi, dan akuntabilitas.

Sejak satu dekade terakhir, industri pers arus utama menghadapi tantangan yang dipicu oleh hadirnya inovasi besar di dunia digital. Tantangan ini terutama melanda surat kabar cetak, majalah, dan tabloid yang sebagian lalu beralih ke versi laman daring. Tuntutan untuk terus berinovasi tentu membutuhkan biaya produksi yang tidak sedikit. Media cetak juga tidak dapat lagi sepenuhnya bergantung pada pemasukan yang didapatkan dari iklan. Dalam laporan UNESCO (2022), distribusi iklan di media cetak secara global turun dari 22,9 persen pada 2010 menjadi 5,7 persen tahun 2021. Berhadapan dengan itu, konten berita versi digital berbayar (paywall) dan berlangganan (subscribe) menjadi strategi bisnis yang ditempuh sejumlah media arus utama.

Pada saat yang sama, menjaga kepercayaan publik juga perlu menjadi perhatian serius bagi perusahaan pers. Obyektivitas dalam pemberitaan menjadi hal yang mesti terus diperjuangkan. Media arus utama perlu menjaga unsur kelengkapan informasi dan menjadikan hal itu sebagai keunggulan dibandingkan dengan media sosial. Pemimpin redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra (kiri), Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Agung Suprio, Direktur Pemberitaan CNN Titin Rosmasari, menjadi pembicara dalam seminar “Pers dan Pemilu Serentak 2024” yang diadakan oleh Dewan Pers di Jakarta (26/1/2023). Selain unsur kelengkapan berita, Haryanto juga menyorot perhatian audiens terhadap independensi media dari kepentingan politik mana pun. Publik sebenarnya sadar dengan hadirnya media partisan atau yang berafiliasi dengan partai politik tertentu. Hal ini dapat menyebabkan munculnya ketidakpercayaan publik terhadap media. Pandangan Haryanto ini senada dengan temuan survei Kompas (25 Januari-4 Februari 2023) dengan 1.202 responden di 38 provinsi. Sebanyak 70,2 persen responden mengaku masih memercayai pemberitaan di media arus utama, seperti televisi, surat kabar cetak, radio, dan berita daring. Sementara itu, 19,9 persen responden menjawab dirinya tidak percaya terhadap pemberitaan di media arus utama. Meskipun persentase responden yang tidak memercayai media arus utama masih tergolong sedikit, hal itu tetap menjadi peringatan bagi lembaga pers. Informasi berimbang, akurat, serta tervalidasi menjadi syarat mendasar dari suatu berita sebelum disampaikan kepada masyarakat. Jika hal ini tidak dapat dipenuhi, ketidakpercayaan publik terhadap pemberitaan media massa dapat terus meningkat. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Pinckey Triputra, mengatakan, aspek netralitas media massa perlu ditafsirkan ulang sebagai keberpihakan pada nilai-nilai yang ideal. ”Jadi, bukan media yang berpihak pada kubu atau pihak tertentu, melainkan berpijak pada nilai seperti kemanusiaan dan demokrasi,” ujarnya. Dengan beragamnya sudut pandang media massa dalam suatu isu, masyarakat justru diperkaya dan pers menjalankan tugas edukasinya. parafrase teks tersebut

Industri media utama menghadapi tantangan besar dalam beberapa tahun terakhir karena dampak disrupsi digital. Media cetak seperti surat kabar, majalah, dan tabloid mengalami penurunan dan beralih ke platform digital. Mereka perlu terus berinovasi untuk memenuhi kebutuhan pasar, yang berarti biaya produksi yang lebih tinggi.

Sumber pendapatan dari iklan juga mengalami penurunan signifikan di media cetak. Laporan UNESCO menunjukkan bahwa distribusi iklan global di media cetak turun drastis dari tahun 2010 hingga 2021. Dalam menghadapi situasi ini, beberapa media utama telah mengadopsi strategi bisnis berupa konten berbayar dan berlangganan untuk versi digital mereka.

Selain itu, mempertahankan kepercayaan publik menjadi hal penting bagi perusahaan media. Obyektivitas dalam pemberitaan tetap menjadi fokus utama. Media sosial seperti TikTok dapat menyebarkan informasi dengan cepat, tetapi seringkali informasinya tidak lengkap. Oleh karena itu, media utama perlu menjaga kelengkapan informasi dan menjadikannya sebagai keunggulan dibandingkan dengan media sosial.

Selain kelengkapan informasi, independensi media dari kepentingan politik juga menjadi perhatian penting. Masyarakat menyadari adanya media yang partisan atau terafiliasi dengan partai politik tertentu, yang dapat mengakibatkan ketidakpercayaan terhadap media. Survei Kompas menunjukkan bahwa sebagian besar responden masih mempercayai pemberitaan di media utama, tetapi ada juga yang tidak percaya.

Tak dapat dipungkiri, munculnya hoaks dan disinformasi turut berperan dalam memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap media massa. Berbagai informasi yang tersebar di media sosial juga membawa tsunami informasi bagi publik. Tak heran saat ini masyarakat global pun mengalami fenomena menghindari pemberitaan (news avoidance) dan kelelahan terhadap berita (news fatigue).

Fenomena ini juga dapat dilihat dalam Reuters Digital News Report 2022 yang melaporkan, 48 persen publik global sudah tidak percaya dengan pemberitaan yang tersebar di media mana pun.

Sementara itu, untuk konteks Indonesia, dapat merujuk pada hasil survei Kompas. Sebanyak 53,2 persen responden mengaku bahwa televisi menjadi kanal berita yang paling dipercaya informasinya, diikuti media sosial.

Munculnya media sosial di urutan kedua sebagai kanal berita yang dipercaya publik tentu menjadi tantangan bagi Kementerian Komunikasi dan Informatika serta polisi siber. Di media sosial, banyak akun yang menyajikan beragam informasi yang tidak melalui proses kurasi. Hoaks dan disinformasi juga paling mudah tersebar di media sosial.

Warga melintasi mural berisi anjuran warga untuk hati-hati dengan hoaks di jalan layang Rawa Panjang, Penyebaran berita hoaks dan perundungan siber yang tinggi menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat keadaban yang rendah di dunia maya.

Selain itu, aspek merek (brand) suatu perusahaan media pers bukan lagi hal yang menentukan kepercayaan publik dalam mengakses informasi. Ketika para responden ditanya tentang alasan utama dalam memercayai pemberitaan di media massa, berita yang memuat sumber informasi dari pihak berwenang (misalnya berisi data resmi, rilis lembaga, dan pernyataan tokoh) menjadi pertimbangan kuat bagi 34,7 persen responden. Sementara itu, merek media massa hanya dipilih oleh 6,2 persen responden.

Lembaga otoritas media massa memegang peran penting dalam membangun masyarakat yang sadar informasi. Dalam era informasi yang semakin kompleks dan bergejolak, keberadaan lembaga otoritas media massa menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Mereka berperan dalam menyaring informasi, memerangi disinformasi, dan menjaga integritas jurnalisme. Pentingnya kebebasan media dan integritas informasi tidak boleh diabaikan, karena hal ini berkontribusi pada kualitas demokrasi dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, dukungan terhadap lembaga otoritas media massa dan upaya untuk memperkuat peran mereka dalam membangun masyarakat yang sadar informasi sangatlah penting.

Penulis : M. Shidqi Alfarisi
editor : M. Labib Burhani

Ketika Kamu Benci Diri Sendiri

Previous article

Komunikasi sebagai “Deal Breaker” Tersembunyi dalam Relationship

Next article

Comments

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *