Semester 7

Ketika Kamu Benci Diri Sendiri

Cara kita memandang hidup sebenarnya adalah akumulasi  dari peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi, ketika  kehidupan penuh keceriaan mungkin mayoritas pandangan  hidup akan penuh keceriaan, tetapi bagaimana jika kita hidup berfokus pada kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan,  hidup dengan perasaan tertekan, hidup dengan membenci  diri sendiri. 

Menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey  2022, 15,5 juta (34,9 persen) remaja mengalami masalah  mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja mengalami gangguan  mental. 

Salah satu mahasiswa UIN Jakarta berinisial D, melalui  wawancara mengatakan perasaan insecure dan tidak ada  progres atau kemajuan dalam diri sering muncul secara  bersamaan di dalam diri. 

“Saya sering merasa sendirian, merasa sangat insecure,  merasa teman-teman saya sudah sukses di bidang masing-masing, namun saya masih stuck dan tidak ada progres diri sama sekali.” 

Kita harus dipaksa mengimbangi dunia bahkan ketika merasa tidak mampu, tantangan malah menjadi suatu kesempatan untuk ditekan. 

Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta, Dandy Aulya menegaskan manusia adalah keberadaan yang mendahului esensi, sehingga tujuan ke depannya ditentukan oleh diri sendiri. 

“Kita dapat mengacu kepada filsafat eksistensialisme  dimana manusia itu adalah keberadaan yang mendahului  esensi. Kita bukan seperti meja, kursi, dan handphone yang ada karena sudah ada tujuan tercipta terlebih dahulu. Tetapi  manusia itu unik. Manusia adalah keberadaan yang ada duluan, tetapi kitalah yang membuat dan menentukan tujuan kita sendiri,” ucap Dandy. 

“Maka untuk orang-orang yang dihadapkan pada  kesempurnaan, standar-standar yang mereka sendiri tidak suka, lebih baik menyadari akan kapabilitasnya sebagai manusia yang eksistensialisme, bahwa manusia punya hak  untuk memilih mengenai hidupnya sendiri,” sambung Dandy. 

Setiap manusia pasti memiliki kekurangan, kita dengan  segala ketidaksempurnaan dihadapkan pada dunia yang menginginkan kesempurnaan. Lalu bagaimana cara kita bertahan? 

Dandy menambahkan permasalahan bukan pada self love tetapi pada self concept, 

“Akar permasalahan bukan pada self love tetapi pada self  concept. Dalam psikologi, self love itu salah satu teori  turunan self concept atau konsep diri. Hal pertama yang perlu kita pelajari sebelum self love adalah konsep diri.  Karena dari konsep diri itu akan banyak konsep turunan lain  yang akan berhubungan seperti self love, self reward, self  healing, dan lainnya. Banyak fakta di lapangan  menunjukkan generasi muda belum memiliki konsep diri, padahal secara teori seharusnya sudah mempunyai konsep diri yang matang sebelum umur 18 tahun.” 

Ahli komunikasi psikologi, Jalaludin Rahmat mengatakan  konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam  komunikasi interpersonal, karena setiap orang bertingkahlaku  sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Selain itu  dijelaskan bahwa sukses komunikasi interpersonal banyak  bergantung dari kualitas konsep diri seseorang, yaitu positif  atau negative, karena setiap orang bertingkahlaku sedapat  mungkin sesuai dengan konsep dirinya. 

Mahasiswa Magister Komunikasi UIN Jakarta, Zahra  menambahkan “konsep diri adalah gambaran tentang diri kita  sendiri yg terbentuk karena pengalaman dari interaksi dengan  orang lain. Kalau Teori Looking Glass Self Charles Horton 

Cooley, konsep diri itu gambaran tentang kita yang diliat dari  perspektif orang lain.” 

William H. Fitts dalam Agustiani, 2006 mengemukakan konsep  diri mempunyai dua dimensi pokok, yaitu dimensi internal dan  dimensi eksternal. Faktor internal meliputi diri identitas  (identiyty self), diri pelaku (behavioral self) dan diri  penerimaan/penilai (judging self). Sedangkan faktor eksternal  meliputi, Diri fisik (physical self), Diri etik-moral (moral ethical self), Diri pribadi (personal self), Diri keluarga (family  self), dan Diri social (social self).

Dosen Psikologi UIN Jakarta, Fidiansjah menguatkan jika setiap orang harus memiliki konsep diri untuk bertahan di era perkembangan teknologi. 

“Berbagai gangguan mental merupakan satu lingkaran yang saling terkait. Oleh karena itu setiap orang harus memiliki  konsep diri atau jati diri. Konsep diri tidak bisa didapatkan dengan pendidikan formal, karena ini terbentuk melalui  bimbingan, pola asuh keluarga, lingkungan, peristiwa, dan  pengalaman yang terjadi di dalam hidup. Ketika konsep diri seseorang itu sudah matang mereka tidak akan gamang  ataupun galau dengan keadaan apapun,” ungkap Fidi. 

Fidiansjah menambahkan setiap orang punya potensi, namun terkadang tokoh otoriter yang malah menjadikan seseorang  kehilangan jati diri. 

“Sebenarnya yang sering terjadi, orang itu memiliki potensi lain namun dipaksakan oleh tokoh-tokoh otoriter (seperti keluarga, lingkungan, guru, bahkan media sosial) untuk menjadikan dirinya bukan diri sendiri tetapi diri orang lain.” 

Kita sering menambah permasalahan dengan marah kepada  diri sendiri ketika tidak bisa menjadi apa yang diinginkan orang lain. Bahkan dengan sadar sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Oleh karena itu kita perlu konsep diri. 

“Ketika seseorang memiliki konsep diri, walaupun berada di  kondisi atau keadaan yang tidak ideal seperti miskin, cacat,  fisik yang kurang, dia tidak akan melihat itu sebagai sesuatu  yang menghambat dirinya karena dia masih melihat, sesuatu  yang lain yang ada pada dirinya. Pemikiran seperti ini  memang tidak muncul begitu saja, tanpa sebuah terpaan, bimbingan, dan arahan. Jika ditelusuri lebih dalam, bisa melihat saja sudah suatu kelebihan dari orang buta, bisa  berjalan saja sudah suatu kelebihan dari orang lumpuh,” tutup Fidi. 

Hargai proses diri, maknai perjalanan hidup, karena apapun yang terjadi akan menjadi pembentuk karakter diri. 

Dandy menambahkan, pelan-pelan sambil menikmati dan menghargai proses tersebut secara umum menjadi hal yang  penting untuk kesehatan mental. 

“Menurut saya kesuksesan dibangun pelan-pelan dari awal,  mulai dari pencapaian sederhana sampai akhirnya pencapaian  besar. Di sela-sela menikmati proses diperlukan apresiasi ke  diri sendiri, misalnya setelah menyelesaikan tugas apresiasi  diri dengan cokelat. Itu salah satu self reward yang secara tidak sadar akan membantu kita untuk tetap konsisten,  walaupun sebenarnya kecil tetapi jika perilaku itu terus  berulang apalagi berprogres maka akan tumbuh perasaan puas, konsistensi, dan ketenangan.” 

Buatlah standar prestasi ataupun sukses versi diri sendiri, terkadang begitu melelahkan ketika tidak bisa menjadi diri  sendiri, jangan buat penjara dengan mindset harus diakui, karena sejatinya bagaimanapun kita, orang lain tidak boleh intimidasi apalagi soal konsep diri.

Hirarki Kebutuhan menurut Abraham H. Maslow berbentuk piramida yakni aktualisasi diri, kebutuhan akan akan  penghargaan, kebutuhan akan memiliki dan rasa cinta,  kebutuhan akan rasa aman (keselamatan), dan kebutuhan  fisiologi. Dimana untuk mencapai puncak yakni aktualsiasi  diri, empat kebutuhan lainnya harus dahulu dipenuhi, mulai  dari yang paling dasar (fisiologi), hingga aktualisasi diri. 

Seorang Psikolog terkenal asal Amerika, Carl Rogers menyimpulkan bahwa manusia memiliki kapasitas dan terdorong untuk mencapai potensi maksimalnya.

Jadi berhenti membanding-bandingkan diri sendiri karena perubahan dan progres diri tidak akan terjadi jika hanya berdiam diri tetapi mulailah eksekusi dari saat ini. 

Dalam person centered theory yang dikemukakan Rogers, konsep diri atau self concept adalah persepsi dan keyakinan  terhadap diri sendiri yang konsisten serta terorganisir. Self concept menjadi acuan kita untuk melihat dunia dan diri sendiri. Satu hal yang perlu ditanyakan kepada diri sendiri apakah perasaan tidak enak, cemas, dan stres membuat kita menjadi  lebih baik atau tidak? Jika ternyata menjadi lebih baik, itu berarti kita sedang berkembang dan sudah ada di jalan yang tepat. 

Manusia tidak ada yang sempurna, cobalah untuk mengakui ketidaksempurnaan dan terusberusaha mengembangkan diri. 

Mencintai diri sendiri apa adanya, bukan dari apanya, karena  self concept yang baik dihasilkan oleh penerimaan tanpa  syarat. Tidak apa sesekali menertawakan kesalahan diri sendiri, tidak masalah sesekali merasa lelah dan ingin  menyerah, boleh-boleh saja sesekali merasa malas dan memanjakan diri. Terima keadaan itu, peluk dan berterima kasih kepada diri yang sudah mau berjuang dan bertahan walaupun sudah diambang kehancuran. Tetapi hancur  sekarang bukan berarti juga hancur nanti, pastikan diri  bangkit dan berjuang kembali. 

Penulis: Latifahtul Jannah 

Editor: Muhamad Rifqi Aymani

5 Love Language, Kamu Suka Yang Mana?

Previous article

MEMPERTAHANKAN KEBEBASAN DAN INTEGRITAS INFORMASI, PERAN SIAPA?

Next article

Comments

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *