
Generasi Z lahir di era digital dan media sosial, sering mendapat label sebagai generasi yang “gampang baper” alias mudah terbawa perasaan. Sebutan ini muncul karena banyaknya fenomena di mana anggota Gen Z terlihat lebih ekspresif dalam menunjukkan emosi, baik di dunia nyata maupun media sosial. Tetapi, apa benar lebih mudah baper dibanding generasi sebelumnya? Atau ada faktor lain yang membuat mereka terlihat lebih sensitif?
Baper, istilah ini adalah singkatan dari “bawa perasaan”, yang merujuk pada seseorang yang cenderung bereaksi secara emosional terhadap situasi atau perkataan tertentu. Kata ini sering dihubungkan dengan sensitivitas emosional yang berlebihan atau respons yang lebih dramatis terhadap hal-hal yang dianggap remeh oleh orang lain. Baper tidak selalu buruk, karena menunjukkan bahwa seseorang memiliki kepekaan emosional yang kuat. Namun, jika terlalu sering baper, hal ini bisa mengganggu produktivitas dan hubungan sosial.
Gen Z tumbuh di era teknologi di mana segala sesuatu dapat diungkapkan secara instan melalui media sosial. Ketika mereka merasa senang, sedih, marah, atau kecewa, media sosial menjadi tempat untuk meluapkan emosi itu. Hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih terbiasa menyimpan perasaan atau membahasnya dalam lingkaran sosial yang lebih kecil. Kemudahan dalam mengekspresikan diri di media sosial sering kali membuat Gen Z tampak lebih emosional.
Media Sosial Wadah Ekspresi Diri
Generasi Z memilih media sosial sebagai wadah komunikasi untuk mengungkapkan perasaan dan bisa disaksikan oleh ribuan, bahkan jutaan orang. Ketika seseorang memposting curahan hati atau cerita sedihnya, mereka sering kali mendapatkan banyak dukungan atau simpati dari pengguna lain. Hal ini dapat memperkuat perilaku “baper”, karena ada umpan balik yang cepat dan nyata. Komentar, like, dan respons dari orang lain bisa menjadi validasi perasaan mereka, sehingga perasaan baper seolah lebih mudah muncul. Selain itu, media sosial juga sering memunculkan perbandingan yang membuat seseorang lebih mudah merasa tidak puas dengan diri sendiri, yang pada akhirnya bisa memicu perasaan baper.
Tidak seperti generasi sebelumnya yang cenderung lebih tertutup dalam menunjukkan emosi, Gen Z memiliki budaya yang lebih terbuka terhadap kesehatan mental dan emosional. Mereka tidak segan membicarakan perasaan mereka, baik itu terkait kebahagiaan, kecemasan, stres, maupun depresi. Kesadaran akan kesehatan mental ini adalah sesuatu yang positif. Gen Z lebih berani mencari bantuan profesional seperti konselor atau psikolog jika merasa perlu. Namun, keterbukaan ini juga bisa disalahartikan sebagai tanda bahwa mereka lebih “gampang baper”. Padahal, faktanya mereka hanya lebih jujur dan berani mengekspresikan perasaan mereka dibandingkan generasi sebelumnya.
Menariknya, banyak ahli psikologi yang berpendapat bahwa kepekaan emosional yang dimiliki oleh Gen Z sebenarnya bisa menjadi kelebihan. Mereka lebih peka terhadap isu-isu sosial, lingkungan, dan ketidakadilan. Ketika mereka menunjukkan emosi yang kuat terhadap hal-hal seperti perubahan iklim, isu kesetaraan, atau permasalahan sosial lainnya, ini bisa jadi tanda bahwa mereka peduli dan tergerak untuk membuat perubahan. Gen Z tumbuh dalam lingkungan yang lebih global dan terhubung, di mana mereka bisa melihat dan merasakan dampak dari isu-isu besar secara langsung.
Penulis : Au;ia Ramadhani
Editor : Maya Maulidia
Comments