Cerita Komunikasi

FOMO Pencapaian: Antara Motivasi dan Beban Mental

Poster paper and hands of woman in studio with text information and advertising of insecurity Announcement sign and female person with anxiety on gray background for fomo problem and awareness
Fear of Missing Out (FOMO) (Sumber: Freepik.com)

Di era digital saat ini, banyak orang merasa terjebak dalam perasaan Fear of Missing Out (FOMO) ketika menyangkut pencapaian dalam kehidupan nyata. FOMO muncul ketika individu membandingkan diri mereka dengan orang lain, terutama saat melihat kesuksesan teman atau orang yang mereka ikuti di media sosial. Hal ini dapat menjadi pedang bermata dua, di satu sisi, dapat memotivasi individu untuk mencapai tujuan dan mewujudkan impian, tetapi di sisi lain, dapat menciptakan beban mental dan stres yang berlebihan.

FOMO sebagai Pendorong Motivasi

Salah satu aspek positif dari FOMO adalah kemampuannya untuk mendorong individu untuk mencapai impian dan keinginan mereka. Melihat pencapaian orang lain dapat menjadi sumber inspirasi. Banyak orang yang menggunakan Fear of Missing Out untuk membuat daftar pencapaian (checklist) yang ingin mereka capai. Dengan kata lain, Fear of Missing Out dapat berfungsi sebagai pendorong untuk mengambil tindakan, mengejar impian, dan berfokus pada pencapaian tujuan.

Misalnya, ketika seseorang melihat teman-teman mereka berhasil dalam karier atau mendapatkan gelar pendidikan, mereka mungkin merasa terpicu untuk meningkatkan kemampuan mereka atau mendaftar ke program pendidikan yang sama. Dalam konteks ini, FOMO dapat menciptakan suasana persaingan yang sehat, di mana individu berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam hidup mereka. Kekuatan untuk menciptakan rencana dan menetapkan tujuan dapat memberikan kepuasan tersendiri ketika seseorang berhasil mencapainya.

FOMO dan Toxic Productivity

Namun, di sisi lain, FOMO dapat berkembang menjadi fenomena yang disebut sebagai toxic productivity. Ketika tekanan untuk mencapai tujuan yang tinggi terus meningkat, individu dapat merasa terjebak dalam siklus pekerjaan tanpa henti. Ketergantungan pada pencapaian eksternal untuk validasi diri dapat menciptakan perasaan tidak puas, bahkan saat mereka berhasil mencapai sesuatu. Hal ini terjadi karena Fear of Missing Out memicu perbandingan sosial yang tidak sehat dan harapan yang tidak realistis.

Banyak orang yang merasakan tekanan untuk selalu produktif, dan ketika mereka tidak memenuhi ekspektasi ini, mereka dapat merasa gagal. Kondisi ini sering kali disertai dengan kecemasan, stres, dan kelelahan mental. Individu yang terjebak dalam toxic productivity mungkin merasa bahwa mereka tidak pernah cukup baik, terlepas dari pencapaian yang telah diraih. Ketidakmampuan untuk beristirahat atau menikmati pencapaian mereka sendiri dapat mengarah pada kelelahan emosional dan fisik.

Keseimbangan FOMO

Dalam menghadapi FOMO dan mencegahnya menjadi beban mental, penting untuk menemukan keseimbangan yang sehat antara motivasi dan penerimaan diri. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan menyadari bahwa setiap individu memiliki perjalanan dan pencapaian yang unik. Daripada membandingkan diri dengan orang lain, lebih baik fokus pada tujuan pribadi dan menghargai kemajuan yang telah dicapai, sekecil apapun itu.

Mengatur batasan dalam penggunaan media sosial juga dapat membantu. Dengan mengurangi paparan terhadap konten yang memicu FOMO, individu dapat mengurangi tekanan untuk selalu tampil sempurna. Selain itu, mengembangkan pola pikir yang lebih positif dan mengakui bahwa tidak semua pencapaian harus diukur dengan kesuksesan orang lain dapat membantu mengurangi stres dan kecemasan.

Nah, Sobat MinSik FOMO terhadap pencapaian dalam kehidupan nyata adalah fenomena kompleks yang memiliki dua sisi. Di satu sisi, FOMO dapat menjadi pendorong motivasi yang kuat, memicu individu untuk mencapai tujuan dan mewujudkan impian. Namun, di sisi lain, FOMO juga dapat berpotensi menciptakan beban mental dan toxic productivity. Dengan menemukan keseimbangan antara motivasi dan penerimaan diri, FOMO dapat menjadi alat untuk berkembang tanpa terjebak dalam siklus stres dan perbandingan yang tidak sehat.

Penulis: Maya Maulidia

Editor: Diah Ayu

komuniasik@gmail.com

Gen Z dan Second Account: Ekspresi Diri dan Depresi

Previous article

Aku Introvert, Jadi Wajar Diem Aja.

Next article

Comments

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *