
Zaman sekarang, ada tekanan besar untuk selalu tampil pintar dan berpengetahuan. Seseorang yang tidak mau mengakui ketidaktahuan sering kali merasa gengsi, seolah mengaku “tidak tahu” itu adalah bentuk kegagalan. Fenomena ini banyak kita temui di kalangan anak muda, di mana keinginan untuk terlihat cerdas, “up-to-date“, dan mengalahkan rasa ingin tahu yang sebenarnya. Alih-alih jujur dan terbuka untuk belajar, mereka justru memilih untuk berpura-pura tahu segalanya.
Apa itu Impression management?
Dalam komunikasi, fenomena ini terkait dengan impression management, yaitu upaya seseorang untuk mengontrol cara orang lain memandang dirinya. Mereka yang enggan mengakui ketidaktahuan sering kali berusaha keras agar terlihat pintar, bahkan jika itu berarti memberikan jawaban setengah hati, mengarang fakta, atau mengalihkan topik. Ironisnya, upaya ini sering berakhir dengan situasi canggung dan memalukan. Alih-alih mendapatkan pengakuan, mereka justru menjadi bahan tertawaan karena terlihat jelas bahwa mereka sebenarnya tidak tahu.
Istilah yang populer di kalangan Gen Z, yaitu “fake smart.” Istilah ini merujuk pada orang-orang yang berusaha keras terlihat pintar dengan berbagi informasi yang kadang tidak mereka pahami sepenuhnya. Misalnya, saat muncul tren baru atau berita viral, mereka akan berkomentar dengan keyakinan penuh, meskipun dalam hati mereka tidak benar-benar tahu apa yang sedang dibahas. Harusnya bisa membuka ruang untuk belajar, mereka malah terjebak dalam ilusi bahwa selalu tahu segalanya adalah tanda keberhasilan.
Sikap seperti ini berpotensi merusak komunikasi yang sehat. Dalam banyak kasus, orang yang terlalu gengsi untuk mengakui ketidaktahuan cenderung menghindari diskusi yang bisa mengeksplorasi topik lebih dalam. Mereka merasa tertekan untuk menunjukkan bahwa mereka selalu tahu jawabannya, padahal ini bukan cara yang efektif untuk berinteraksi. Dalam lingkungan kerja, misalnya, ini bisa berdampak negatif pada dinamika tim. Ketika seseorang menolak untuk bertanya atau meminta bantuan hanya demi menjaga citra diri, produktivitas tim bisa terhambat.
Tanda ketidaktahuan, Lemah atau Berani?
Mengakui ketidaktahuan bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru tanda keberanian. Ketika kita mampu berkata “saya tidak tahu,” kita membuka peluang untuk belajar dan berkembang. Dalam konteks komunikasi, sikap ini menciptakan ruang bagi dialog yang lebih jujur dan konstruktif. Kita bisa mengajak orang lain untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, yang pada akhirnya akan memperkaya wawasan kita.
Sementara itu, pertanyaan “memangnya kenapa kalau tidak tahu?” bisa menjadi pembuka diskusi yang menarik. Mengapa kita harus merasa malu jika tidak tahu sesuatu? Dalam kenyataannya, semua orang pasti memiliki batasan pengetahuan masing-masing. Mengakui ketidaktahuan bisa jadi pintu untuk memahami hal baru, dan itu adalah bagian penting dari proses belajar. Mungkin, daripada merasa tertekan untuk tahu segalanya, kita seharusnya lebih menghargai proses pengetahuan itu sendiri.
Dalam dunia yang serba cepat dan informasi melimpah, penting untuk diingat bahwa tidak ada yang sempurna. Semua orang berhak untuk tidak tahu sesuatu, dan itu tidak mengurangi nilai diri kita sebagai individu. Jadi, lain kali ketika kamu merasa tertekan untuk memberikan jawaban yang sempurna, ingatlah: mengakui ketidaktahuan bisa jadi jauh lebih berharga daripada berusaha keras untuk tampil pintar. Dengan begitu, kita bisa lebih menghargai diri sendiri dan orang lain, serta menciptakan komunikasi yang lebih sehat dan autentik.
Penulis : Bilal Irfani
Editor : Maya Maulidia
Comments