Hingar bingar dunia tidak pernah bersahabat dengan ketenangan jiwa, sebagai manusia yang memiliki banyak rasa, kebisingan menjadi pemantik hadirnya sebuah kegelisahan, istilah trending dan viral kini nampaknya menjadi sesuatu yang sayang jika dilewatkan, sehingga scroll di media sosial sudah bukan hanya sekedar mengisi waktu luang atau mencari hiburan semata, tetapi menjelma menjadi kebiasaan. Disadari atau tidak, kita pernah mengalami takut kehilangan momen di media sosial tapi lupa menikmati momen yang kita alami kini, disinilah ada hal yang perlu direnungkan kembali, mengenai membangun komunikasi diri dengan di luar diri kita, atau biasa disebut komunikasi interpersonal.
Hakikatnya momen bukan hanya mengenai ruang dan waktu, tetapi ada unsur ‘siapa’ atau manusia disana, banyak kiranya kehidupan yang kita anggap biasa dan terjadi sehari-hari yang harus kita nikmati dan syukuri setiap waktunya, oleh karena itu penting untuk memberikan jeda bagi kita agar bisa mengkomunikasikan dengan diri sendiri tentang hakikat menikmati momen bahkan hidup.
Salah satu yang bisa membantu ialah membaca buku ‘Berani Tidak Disukai’ karya Ichiro Kishima dan Fumitake Koga, yang merupakan salah satu buku best seller mengenai self improvement, buku ini menyajikan pendekatan melalui Teori Psikologi Adler yang diekstraksi dengan pemikiran filosofis, hal ini tercermin dari isi yang berupa dialog seorang filsuf dan seorang pemuda.
Dari awal membacanya kita akan banyak menemukan penuturan sang filsuf yang cukup menghancurkan ego manusia. Kita seperti masuk ke dalam percakapan mereka dan ikut hanyut dalam pertanyaan-pertanyaan sang pemuda yang mencoba mencari hakikat kebahagiaan dan hidup. Ini merupakan obat keras dan banyak hal yang akan kontradiktif dengan naluri manusia, seperti judul bukunya “Berani Tidak Disukai”.
Semua Persoalan adalah Tentang Hubungan Interpersonal
Buku ini berteori semua persoalan adalah tentang hubungan interpersonal yang muncul dari dalam diri sendiri. Hal ini berkaitan bahwa manusia esensinya yakni makhluk sosial, yang mana selain interaksi, selalu ada bayang-bayang orang lain di balik kekhawatiran yang timbul, apalagi di era media sosial kini.
Selain itu, berbicara hubungan interpersonal dalam Teori Psikologi Adler kita juga akan menemukan istilah perasaan inferioritas. “Perasaan inferior” ini berkaitan dengan ukuran nilai seseorang terhadap dirinya. Perasaan bahwa seseorang tidak berharga, atau bahwa nilai dirinya hanya sebatas itu.
Adler menyatakan bahwa perasaan inferior adalah sesuatu yang dimiliki setiap orang dan tidak ada yang buruk dari perasaan itu sendiri, bahkan perasaan itulah sebagai landasan pacu manusia hidup, karena manusia akan berupaya menyingkirkan perasaan inferiornya dan terus maju, dalam artian manusia tidak akan pernah puas dengan situasinya saat ini.
Selain perasaan inferior ada juga yang disebut kompleks inferoritas. Digambarkan dalam dialog buku ini yang mana sang pemuda mengaku kepada sang filsuf bahwa ia tidak menyukai dirinya sendiri, dia tidak menemukan satu alasanpun untuk bisa mencintai diri sendiri, karena apapun yang pemuda itu lakukan, tidaklah pemuda itu menemukan apapun, selain kelemahan dirinya, bahkan ia ingin kembali dilahirkan menjadi orang lain, yang menurutnya ceria dan supel sehingga semua orang menyukainya. Hal seperti ini banyak terjadi di era media sosial, dengan budaya flexing banyak yang merasa tidak cukup dengan diri sendiri.
Gambaran di atas disebut oleh Teori Psikologi Adler sebagai kompleks inferioritas, yakni merujuk pada kondisi yang mulai menjadikan perasaan inferiornya sebagai alasan. Pada dasarnya sang pemuda itu sedang lari dari realita, menjadikan orang lain sebagai dalih atas keburukan yang menimpanya, namun sebenarnya pemuda itulah yang menciptakannya sendiri. Ini terbukti dengan pernyataan sang filsuf yang tidak ditolak oleh sang pemuda. Dia hanya menjawab.
“… Sulit mengakuinya, tapi kau benar.”
Menyisihkan Tugas-Tugas Orang Lain
Singkatnya kita tidak bisa mengendalikan orang lain dan itu bukan tugas kita, yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan diri kita sendiri. Karena kitalah pemegang kartu penting dalam hubungan interpersonal.
Baik dalam hubungan pertemanan, cinta, bahkan hasrat ingin diakui sampai memenuhi ekspektasi orang lain. Kalau kita sudah bisa mengenyampingkan tugas-tugas yang sebenarnya tidak ada gunanya dipikirkan, maka kita akan menemukan kebebasan yang sejati, yakni terbebas dari yang namanya ekspektasi.
Kita Bukanlah Pusat Dunia
Buku ini juga mengajarkan kepada kita bahwa diri kita memang bukanlah pusat dunia, tetapi tetap berharga, yang mana banyak tips untuk menjalin hubungan interpersonal yang sehat tanpa mengenyampingkan diri sendiri, seperti mengajak kita kembali untuk mengingat bahwa tujuan dari hubungan intrepersonal adalah perasaan sosial yang akhirnya timbul kontribusi untuk kepentingan umum.
Kita juga harus mendengar suara dari komunitas yang lebih besar, komunitas disini berarti luas. Seluas alam semesta, yakni bahwa ada dunia yang lebih luas di luar sana, yang membentang jauh melampaui batasan sekolah maupun negara, dan setiap dari kita adalah anggota dari dunia tersebut. Sehingga kita memiliki nilai pemikiran yang terbuka.
Dengan itu, kita bisa berbahagia sekarang dengan hidup sungguh-sungguh di sini pada saat ini, dengan keberanian untuk menjadi diri sendiri, serta menikmati hidup dengan rangkaian momen seperti sedang menari dengan memberi makna kepada hidup itu sendiri. Karena semua yang ada di dunia ini hanyalah bersifat netral, kita yang memberikan makna terhadapnya.
Diyah Miftah Awalliah
Kebahagian sejati ada pada diri kita sendiri, hati yang bersyukur, dan memandang dari sudut pandang positif apa yang ada disekitar kita 👍
Sebenarnya kembali kepada masing-masing watak aslinya, toh jiwa yang tak mudah kebawa arus dan emosi yang tak terkendali akan membawa kita bisa memilih dengan hati bersih
Wah masyaallah, jadi pengen baca keseluruhan isi bukunya. Menarik banget beberapa konsep yang dijelaskan penulis. Intinya sih memperbaiki mindset ya haduu tapi sebenernya itu yg sulit. *tapi boleh dicoba✨✨