Perdebatan mengenai penghapusan pidana anak kembali mencuat setelah terungkapnya kasus pembunuhan Ayu Andriani yang melibatkan pelaku di bawah umur. Kasus ini menyoroti pentingnya reformasi sistem peradilan anak di Indonesia, dengan banyak pihak menyerukan penghapusan pidana anak dan penggantiannya dengan pendekatan yang lebih restoratif.
Ayu Andriani, seorang siswi SMP berusia 14 tahun, ditemukan tewas di Bogor pada bulan Mei 2024. Investigasi polisi mengungkapkan bahwa pelaku utama pembunuhan tersebut adalah teman sekelasnya yang juga berusia 14 tahun. Kasus ini memicu perdebatan nasional tentang bagaimana menangani kejahatan serius yang dilakukan oleh anak-anak.
Pro dan Kontra Penghapusan Pidana Anak
1. Anak-anak memiliki kapasitas mental yang belum berkembang penuh dan seringkali tidak memahami sepenuhnya konsekuensi dari tindakan mereka.
2. Pemenjaraan dapat berdampak negatif jangka panjang pada perkembangan anak.
3. Sistem peradilan restoratif lebih efektif dalam merehabilitasi anak dan mencegah perilaku kriminal di masa depan.
Di sisi lain, pihak yang menentang penghapusan pidana anak menyatakan bahwa:
1. Beberapa kejahatan terlalu serius untuk ditangani tanpa hukuman pidana.
2. Penghapusan pidana anak bisa mengurangi efek jera.
3. Korban dan keluarganya berhak mendapatkan keadilan.
Namun, banyak ahli hukum dan psikologi anak menekankan bahwa pendekatan restoratif bukan berarti pelaku tidak bertanggung jawab atas tindakannya. Sebaliknya, pendekatan ini bertujuan untuk:
1. Memahami akar masalah yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana.
2. Melibatkan pelaku dalam proses pemulihan dan pertanggungjawaban.
3. Memberikan dukungan psikologis dan sosial yang diperlukan.
4. Mencegah pengulangan tindak pidana di masa depan.
Dalam kasus Ayu Andriani, jika pendekatan restoratif diterapkan, pelaku mungkin akan menjalani program rehabilitasi intensif, terapi psikologis, dan dilibatkan dalam kegiatan pelayanan masyarakat, alih-alih dipenjara.
Beberapa negara telah menerapkan sistem peradilan restoratif untuk anak dengan hasil positif. Misalnya, Norwegia melaporkan penurunan signifikan dalam tingkat residivisme di kalangan pelaku anak setelah menerapkan pendekatan restoratif.
Meskipun perdebatan masih berlanjut, banyak pihak sepakat bahwa sistem peradilan anak di Indonesia membutuhkan reformasi menyeluruh. Penghapusan pidana anak dan penggantiannya dengan pendekatan restoratif mungkin menjadi langkah penting dalam melindungi hak-hak anak sekaligus menjamin keadilan bagi korban dan masyarakat.
Terlepas dari hasil debat ini, yang jelas diperlukan adalah pendekatan yang lebih manusiawi dan efektif dalam menangani kejahatan anak, dengan fokus pada rehabilitasi dan pencegahan, bukan hanya hukuman.
Editor :
Penulis : Diah Ayu
Editor : Maya Maulidia
Comments