“Laki-laki enggak boleh nangis?” “Laki-laki enggak boleh meminta bantuan orang lain?” “Laki-laki enggak boleh suka masak?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mungkin sudah sering muncul di dalam benak laki-laki. Dimana kita tumbuh di lingkungan yang masih banyak sekali anggapan tentang maskulinitas yang berlebihan dan cenderung negatif. Laki-laki dianggap tidak maskulin atau lemah apabila menunjukkan kesedihannya, meminta pertolongan, atau bahkan menunjukkan kesukaannya pada memasak. Dalam budaya patriarki bahkan dikatakan bahwa laki-laki harus lebih superior dibandingkan perempuan yang secara tidak langsung dapat memicu adanya toxic masculinity. Lalu sebenarnya apa sih toxic masculinity itu?
Dalam Journal of Psychology, Toxic masculinity diartikan sebagai suatu tekanan budaya bagi kaum laki-laki untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan aturan tertentu yang ada di dalam masyarakat. Pada dasarnya, kata maskulin disini merupakan sebuah karakteristik yang seharusnya baik. Namun, hal ini menjadi toxic atau menjadi bentuk negatif ketika laki- laki dituntut harus memiliki dan menunjukkan maskulinitas demi menghindari stigma “laki- laki lemah”. Laki-laki diharuskan untuk menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dan pantang dalam mengekspresikan emosinya. Padahal laki-laki juga manusia yang memiliki sifat lembut, memerlukan bantuan orang lain, sensitif, dan hal tersebut bukanlah suatu hal salah yang ada pada laki-laki. Apa saja sih ciri-ciri dari toxic masculinity?
Berikut adalah ciri-ciri dari toxic masculinity:
- Suka mendominasi
Laki-laki yang memiliki sifat toxic masculinity biasanya merasa superior dan merasa tidak memerlukan bantuan dari orang lain. Ia merasa memiliki kekuasaan dan status sosial yang lebih tinggi dari perempuan, sehingga ia suka sekali menonjolkan sifat dominannya, dimana tidak suka diatur oleh orang lain terutama perempuan. Sebaliknya, ia merasa seharusnya ia mengatur perempua
- Tidak mau melakukan pekerjaan yang dianggap hanya dilakukan perempuan
Contoh toxic masculinity yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari yaitu ketika laki- laki tidak mau melakukan pekerjaan yang dianggap hanya dilakukan perempuan saja, seperti misalnya memasak, membersihkan rumah, mengasuh anak, dan lain-lain. Banyak stigma masyarakat yang mengatakan bahwa laki-laki yang membersihkan rumah dianggap “tidak keren”. Sebaliknya, stigma yang berkembang di masyarakat tentang “laki-laki keren” justru tentang laki-laki yang suka melakukan aktivitas di luar rumah seperti motoran atau olahraga, dan laki-laki yang suka melakukan kebiasaan negatif seperti merokok, minum-minuman keras, atau seks bebas.
- Mudah emosi dan main tangan
Laki-laki dengan toxic masculinity biasanya tidak suka dikritik, karena bagi mereka kritik dari orang lain merupakan bentuk pelemahan kepada dirinya. Hal tersebut membuat ia menjadi egois, tidak mau kalah atau bahkan suka main tangan.
Dari ketiga ciri tersebut, terlihat jelas bahwa toxic masculinity secara tidak langsung dapat membuat ketidaksetaraan gender yang terjadi masyarakat. Lalu, dampak apa saja yang dihasilkan dari adanya toxic masculinity ini? Yang pertama tentu dampak bagi laki-laki itu sendiri, dimana ia tidak dapat dengan bebas mengekspresikan emosi yang dirasakannya, yang akhirnya dapat menyebabkan depresi atau stress berlebihan. Kedua, bertambahnya kasus kekerasan seksual, dimana laki-laki akan terus merasa lebih tinggi status sosialnya daripada perempuan, sehingga menimbulkan rasa ia dapat melakukan hal apapun yang ia suka. Sementara dalam kasus lain, apabila seorang laki-laki menjadi korban dari kekerasan seksual, ia mungkin tidak berani speak up karena banyaknya stigma masyarakat yang mengatakan ia “tidak jantan” karena menunjukkan ketakutannya, yang kemudian membuat angka kekerasan seksual semakin naik.
Nah, itu dia ciri-ciri dan dampak dari toxic masculinity yang dapat membuat kita lebih kenal apa sih toxic masculinity itu. Sebagai masyarakat yang modern nih, tentu kita harus menghindari toxic masculinity dalam kehidupan kita. Kita harus lebih aware terhadap orang di sekitar kita, terutama pada laki-laki, misalnya dengan mengajak ia bicara mengenai apa yang ia rasakan hari ini, sehingga ia dapat mengekspresikan emosinya. Laki-laki boleh kok nangis. Kamu bebas mengekspresikan apapun yang kamu rasakan! So, keep going!
Tags
#Komuniasik
#Komunikasi
#Toxicmasculinity
#Trending
Tim editor:
Penulis: Fadhilah Khairunnisa
Editor: Rafiq Subhi Sahfi
Comments