Pendayagunaan teknologi yang dalam pelaksanaannya menggunakan jaringan internet bagi para kaum muda saat ini menjadi satu hal yang sangat krusial dan diperlukannya perhatian lebih. Penulis mengutip data yang diperoleh dari kominfo menyatakan bahwa, kurang lebih ada 30 juta orang atau responden baik kalangan remaja sampai anak-anak yang merupakan pengguna internet. Yang mana, hampir diseluruh remaja dan anak-anak menjadikan internet sebagai saluran komunikasi utama. Ditambah lagi pada Januari 2022 lalu, terdapat 204,7 juta pemakai internet di Indonesia. Data tersebut menuturkan bahwa minat para remaja saat ini terhadap penggunaan jaringan internet untuk menjalankan segala bentuk aktifitasnya cukup menjadi intrusi. Hal yang mengejutkan mungkin, bahwa sebesar 130 juta atau 48% dari total populasi anak-anak dan remaja di Indonesia pengguna aktif media sosial dan menjadikan media sosial sebagai organ penting dalam menjalani kehidupan.
Dewasa kini, media sosial berperan sebagai wadah bagi para penggunanya agar bisa saling betukar komentar dan tentunya untuk menyuarakan apa saja. Konotasinya adalah kegiatan ini berimbas bagi kesejahteraan emosional para remaja bahkan mereka merasa bahwa media sosial itu adalah hal yang negatif bagi suasana hati mereka. Dapat dikatakan, pengguna media sosial memang menjadi biang terhadap persoalan Kesehatan mental. Beberapa penelitian, salah satunya O’reilly mendapati hasil temuannya bahwa, remaja sekarang menilai jika media sosial sebagai ancaman terhadap mental dengan tiga subtansi yang bisa diidentifikasi, seperti penggunaan media sosial yang diyakini dapat menyebabkan mood disorders, kemudian media sosial juga mendelik sebagai platform cyber bullying, dan yang terakhir media sosial kerap menghipnotis para user media sosial candu.
Buah dari emosional tersebut dapat dikatakan bahwa penyebab suasa hati anak muda tergolong rendah atau landai pada saat mereka berargumentasi bahwa media sosial bisa menggilas saya, serta secara tidak sadar telah menuding jika media sosial atau media-media sosial lainnya dikarenakan dapat merampas harga diri para remaja. Hal ini tentunya menyajikan dalam lingkup ekspetasi yang semakin luas tentang dampak media sosial terhadap budaya. Dengan pandangan tadi, penulis membuat sebuah pertanyaan kecil bahwa, sebagai kaum muda, kita benar-benar dengan gampangnya terombang ambing atau labil.
Periode remaja merupakan term dari perubahan sosial, psikologi juga biologis yang selalu berimbas bagi para anak-anak muda karena hal itu selalu berkompetitif dalam memenuhi kebutuhan kita yang muncul dan menstimulasi dalam pengembangan potensi diri, memupuk rasa tanggung jawab serta bersenggama. Tak heran kita melihat hari ini banyak sekali para remaja yang terus berupaya untuk memupuk diri atas apa yang ia punya. Seperti yang dikatakan Erikson, E. dalam bukunya yang berjudul, Identity: Youth and crisis. (New York, Norton Company,1968), Selama masa remaja mereka mengembangkan rasa identitas dan otonomi yang lebih besar.
Pastinya dengan memanfaatkan berbagai fitur yang ada dimedia sosial, anak-anak zaman sekarang suka belanja online diberbagai e-commerce, tak hanya itu, mereka pun sering melakukan transaksi jual beli di berbagai platform semisal Facebook, Instagram, WhatsApp, dan sebagainya. Sejalan dengan itu, ada juga yang menggunakan media-media tersebut untuk meluapkan apa pun yang dirasakan olehnya. Ketika Bahagia atau sedih, pasti ada sebagian dari kita yang meng upload momen itu ke media sosial, Ketika bingung pun kita memanfaatkan media sosial untuk mencari jawaban dari kegundahan kita. Ya, itulah media sosial dengan berbagai fungsinya tergantung si pilot mengarahkannya. Seperti kata Malala Yousafzai, yang menarik adalah, kekuatan dan dampak dari media sosial, jadi kita harus mencoba menggunakan media sosial dengan cara yang benar.
Dalam sebuah buku karya Cicognani, E, yang berjudul Social Well-Being, In Encyclopedia of Quality of Life and Well-Being Research mengatakan bahwa, dalam menggunakan media sosial tak hanya berdampak pada pembahasan Kesehatan mental, akan tetapi juga berdampak pada kesejahteraan sosial (social walfare). Terkait kesejahteraan sosial ini terdiri dari kondisi dimana seseorang yang berkaitan dengan individu lain dengan baik, stabilitas sosial dan keharmonisan. Social Wellbeing ini perlu ditingkatkan karena mengingat bahwa setiap dari kita adalah makhluk sosial. Secara empiris, yang dimaksud dari makhluk sosial yaitu adanya satu orang yang saling bergantung dengan satu orang lainnya. Dengan demikian, kita sebagai makhluk sosial, sudah sejatinya mengandalkan orang lain agar apa yang ingin kita capai atau dapatkan bisa terealisasikan dan mendapat kesempatan yang sama atau bisa dikatakan mendapat proses timbal balik yang keduanya saling menguntungkan satu sama lain.
Pada hakikatnya, saat ini para remaja merasa jika dari beberapa diantara mereka berasumsi media sosial bisa menjadi percikan awal dari depresi dan lebih ekstrim lagi, yaitu bunuh diri. Tapi kita masih bisa bernafas lega, kenapa? Karena, di Indonesia sangat jarang terjadi kasus bunuh diri yang terjadi karena pengaruh media sosial. Alasan lainnya pun, beberapa diantara para remaja Indonesia khususnya, beranggapan jika kemungkinan-kemungkinan resiko tadi tidak sepenuhnya berdampak bagi dirinya, akan tetapi hal tersebut bisa menjadi pemicu potensi bahaya yang mungkin bisa menghasut sebagian orang diantara mereka.
Media sosial saat ini kerap disandingkan sebagai pemicu depresi bahkan menimbulkan kecemasan. Media sosial dan depresi pun bisa jadi memiliki kaitan yang tidak hanya berbicara tentang tekanan sosial untuk menyebarkan dan up to date dengan isu sosial. Dengan timbulnya kondisi tersebut, itu terjadi akibat dari kecenderungan para remaja dalam menggunakan media sosial untuk membandingkan dirinya dengan orang lain, keberhasilannya, kesuksesannya, kegiatan-kegiatannya, dan sebagainya. Dengan kata lain, kita sering melihat teman kita yang mempunyai pekerjaan yang bagus, harta yang bergelimang, kendaraan yang keren, gadget yang terbaru, bahkan perihal pasangan pun terkadang membuat kita Bahagia dengan apa yang dicapai oleh teman kita, tapi jangan salah, ada juga diantara kita yang iri, dengki bahkan terbebani dengan apa yang dialami teman kita. Hal itu menyebabkan terjadinya depresi, bahkan kemungkinan terburuknya bunuh diri akibat tidak bisa menerima apa yang terjadi dengan dirinya sendiri berbanding terbalik dengan apa yang didapat oleh teman atau kerabat.
Yang harus diperhatikan adalah ketika teori atribusi menjelaskan bahwa remaja saat ini membungkus candunya sebagai atribusi dari yang lain, dapat dikatakan mereka bisa menggeneralisir prespektif ini berpatokan dari data anekdotal daripada menggunakan pengalaman sendiri sebagai parameter atas klaim itu. Menariknya, bahwa banyak aduan yang disuarakan oleh mereka perihal media sosial dan Kesehatan mental adalah sebuah anekdot dan dipaparkan secara abstrak, daripada berdasarkan dengan pengalam pribadi. Dan tampaknya pandangan kaum remaja terhadap media sosial sebagai hal yang negatif bagi kesejahteraan mental yang terbentuk akibat pengalaman orang lain atau bisa jadi dari sumber anekdot lainnya.
Terakhir, seharusnya remaja harus terlibat aktif dalam mengidentifikasi faktor apa saja agar kita bisa mengarahkan media sosial menjauh dari dampak negatif bagi Kesehatan mental kita. Sudah pasti, kita tak bisa menghilangkan teknologi, apalagi dengan pesatnya perkembangan teknologi digital yang semakin terintegrasi dengan kehidupan nyata. Sama halnya, kita tidak bisa berpikir jika media sosial akan membentuk kita sebagai manusia dewasa yang lebih sehat dan bahagia. Akibatnya, kita cukup perlu mencari formula terbaik agar dalam memanfaatkan media bisa mengarah ke hal positif dan tentunya bisa meningkatkan kesejahteraan mental kita. Lebih jauh, tampaknya kita sebagai generasi muda perlu terdidik tentang arti kesehatan dan kesejahteraan mental, apalagi pencegahannya dari dampak media sosial yang tak terbendung dalam pengelolaannya.
Penulis : Farid Abdullah Lubis Editor : Ramadhani Ari Nugroho
Comments