Pram adalah kependekan nama dari seorang sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Ia telah menulis puluhan buku yang diantaranya sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia hingga dunia. Satu yang paling terkenal adalah Bumi Manusia. Buku ini merupakan buku pertama dari Tetralogi Pulau Buru. Pram menulisnya ketika ia masih dipenjara di Pulau Buru yang mana saat itu rezim Soeharto menahannya di sana karena ia dituduh terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan, setelah buku ini terbit pada tahun 1980, Bumi Manusia sempat dilarang beredar setahun kemudian pada tahun 1981 oleh Kejaksaan Agung. Larangan ini berawal dari tuduhan buku tersebut mempropagandakan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme.
Novel ini bercerita mengenai seorang siswa yang bernama Minke yang bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya. HBS Surabaya, salah satu sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman Hindia Belanda. Sekolah ini merupakan sekolah khusus orang Eropa, Belanda dan elit pribumi. Berlatar belakang pada masa penjajahan Belanda, Minke yang merupakan anak seorang priyayi Jawa (meskipun ia malu mengakuinya) berjuang untuk menjadi terdidik dengan pendidikan Eropa yang dipelajarinya di HBS. Dalam novel ini juga terjadi kisah romansa pelik yang menyeret Minke pada pergumulan sosial-politik di masa penjajahan. Ia jatuh cinta pada seorang indo bernama Annelies Mellema.
Annelies digambarakan memiliki kecantikan yang luar biasa. Namun, harus disadari bahwa ia merupakan anak dari seorang Belanda totok bernama Herman Mellema dan seorang gundik bernama Sanikem yang dikenal luas sebagai Nyai Ontosoroh. Pram berhasil membawa realitas sejarah bahwa praktek pergundikan di Hindia itu nyata dan benar adanya. Ia pun berhasil membuat beberapa tokoh penting dalam cerita terasa begitu nyata dalam kasus yang ingin ia angkat ini. Boleh dibilang, Nyai Ontosoroh merupakan salah satu tokoh sentral dalam Bumi Manusia selain Minke itu sendiri. Harus diakui bahwa ia memiliki karakter yang sangat kuat terlepas perannya dalam cerita yang memang cukup penting. Ketika kita mengingatnya, kita akan mengingat kalimat fenomenal Nyai Ontosoroh dalam novel itu, “Kita sudah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” Kalimat ini hadir bukan hanya untuk menujukkan siapa tokoh pentingnya, tetapi penegasan bahwa Pram membawanya bukan hanya sebagai seorang gundik biasa dalam prakteknya di Hindia.
Ia juga hadir sebagai seorang pribumi yang ingin melawan praktek segregasi buatan Belanda yang dibuat untuk mengelompokkan ras dalam tingkatannya sendiri. Nyai Ontosoroh sebagai seorang pribumi Jawa ingin melawan praktek ini di dalam pengadilan secara khusus dan lingkup sosial secara umum. Pram dengan kepiawannya berhasil menciptakan Nyai Ontosoroh sebagai tokoh unik yang layak untuk dijadikan bahan diskusi yang menarik. Bukan tanpa alasan, tak seperti halnya gundik secara umum, ia sangat berhasil secara karakter untuk menjadi tokoh yang ingin melawan dan ingin haknya terpenuhi. Dalam novel ini, Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai seorang gundik dari orang Belanda di Hindia yakni Herman Mellema. Perubahan besar yang terjadi padanya hadir ketika tuannya yakni Herman Mellema mengajarkan membaca, menulis, menghitung, hingga berbahasa Belanda padanya. Ia pun belajar dengan sangat baik hingga karakternya terbentuk sedemikian rupa hingga dikagumi banyak orang.
Tak hanya Nyai Ontosoroh yang memiliki karakter yang begitu kuat. Dalam buku ini juga ada banyak tokoh dengan karakter khasnya sendiri yang sama sekali tak dipaksakan untuk ada. Sebut saja misal Jan Dapperste yang kemudian mengubah namanya menjadi Panji Darman karena terbebani dengan nama Belandanya itu. Ia merupakan teman sekelas Minke di HBS. Bukan Indo, juga bukan Belanda, seorang pribumi yang diambil anak angkat oleh keluarga Belanda. Ia sangat mengagumi Minke. Ia rajin belajar, biar begitu nilainya selalu di bawah Minke. Sejak kecil dikenal penakut. Uang sakunya setiap hari diberi oleh Minke. Jan Dapperste yang selalu menyampaikan sasus tentang Minke di H.B.S. kepada Minke, tentang segala kejahatan Robert Suurhof kepada Minke.
Jan Dapperste adalah anak pungut keluarga pendeta Dapperste yang tak punya anak. Ia dipungut mereka sejak kecil, dibaptiskan dan ditambahkan nama keluarga mereka, Dapperste, pada namanya. Sejak itu ia bernama Jan Dapperste. Nama sebelum itu ia tak tahu. Tuan pendeta telah berusaha mengambilnya sebagi anak adopsi melalui pengadilan. Usahanya tak pernah berhasil, karena hukum perdata Belanda tidak mengenal adopsi. Maka namanya tinggal hanya nama yang diakui hanya oleh masyarakat, tidak oleh hukum. Sejak kecil ia dikenal penakut. Dan ia tak pernah merasa senang bernama Dapperste (Dapperste dalam bahasa Belanda berarti yang terberani). Bahkan, orang mengubah Dapperste menjadi LafsteāJan de Lafste (Lafste dalam Bahasa Belanda berti yang terpengecut).
Selain Jan Dapperste, masih banyak tokoh lain yang memiliki karakter begitu khas dan kuat. Ini merupakan salah satu hal yang membuat buku ini menjadi begitu hidup selain karena jalan cerita dan konflik yang ada begitu menggambarkan keadaan masyarakat di bawah koloni Belanda ketika itu.
Penulis: Hamid Maulana
Comments